Minggu, 12 Juni 2016
PESONA AIR TERJUN 7 BIDADARI
Pesona Air Terjun Tujuh Bidadari
MENDENGAR namanya saja sudah menggoda. Apalagi jika melihatnya, pasti luar biasa! Akan tetapi, tidak banyak yang tahu lokasi Air Terjun Tujuh Bidadari itu. Maklum, ia terkurung dalam hutan belantara di pedalaman Aceh Utara.
Mulanya, disebut Air Terjun Tujuh Tingkat. Pasalnya, dari 10 tingkat lebih, tujuh di antaranya sangat memesona. Entah siapa yang pertama memberi nama Air Terjun Tujuh Bidadari. Pastinya, ia memang menawan bak bidadari.
“Bidadari” yang terabaikan berkalang tahun. Ia ibarat mutiara dalam lumpur. Lumpur tebal melumuri hampir sepanjang jalan menuju air terjun itu tatkala hujan mengguyur. Akan tetapi, kucuran keringat dan lelah lunglai lantaran menempuh medan jalan teramat sulit akhirnya terbayarkan saat tiba di lokasi Air Terjun Tujuh Bidadari.
Anda penasaran?
***
Abel Pasai dan 10 temannya sudah berkumpul di Simpang Keude Mbang, Kecamatan Geureudong Pase, Aceh Utara, ketika saya bersama sineas Aceh Irfan M. Nur tiba di sana, Senin, 16 Februari 2015, siang. Mereka tengah menyiapkan perbekalan untuk perjalanan jauh ke pegunungan Geureudong Pase.
“Saya sudah tidak sabar menikmati Air Terjun Tujuh Bidadari,” kata Abel Pasai sambil memanggul tas ransel setinggi satu meter. “Mungkin kita harus menginap di sana satu malam agar benar-benar merasa puas”.
Abel Pasai merupakan pemuda Gampong Pulo, Kecamatan Syamtalira Aron, Aceh Utara. Selama ini ia menjabat Ketua Centre Informasi for Samudra Pasai Heritage (Cisah) yang bermarkas di Alue Awe, Lhokseumawe. Sepuluh temannya itu relawan Cisah di Syamtalira Aron dan Geureudong Pase. Mereka adalah Sukarna Putra, Khairul Syuhada, Rizal, Samsul Bahri, Bustaman, Mardani, Muslem, Ibrahim, Tgk. Mursyid, dan Mulia. Usia mereka 27 hingga 37 tahun.
Abel dan kawan-kawan berambisi menjelajah belantara Geureudong Pase setelah mengetahui sebagian dari 150 penunggang motor trail sukses menggapai Air Terjun Tujuh Bidadari pada Oktober 2014. Sebagian rider trail adventure lainnya dari Lhokseumawe menyerah di tengah perjalanan lantaran kewalahan menembus medan jalan yang berat lantaran musim hujan. Tim touring trail motor itu bahkan terpaksa dievakuasi hingga malam kelam.
Itu sebabnya, Abel Pasai dan kawan-kawan menunggu saat yang tepat—tidak ada hujan—untuk melampiaskan rasa penasaran menyusuri lokasi Air Terjun Tujuh Bidadari.
“Semua sudah siap, ayo kita berangkat,” ujar Abel Pasai.
Tepat pukul 12.00 WIB, tujuh sepeda motor ditumpangi 13 orang termasuk saya bergerak dari Simpang Keude Mbang tembus ke jalan perkebunan sawit PT Satya Agung. Jalan berbatu campur tanah membelah area perkebunan teramat luas hingga melintasi Krueng (Sungai) Pase.
Naik turun barisan bukit di tengah perkebunan sawit itu, kami kemudian menyebrangi Alue (Alur) Punti yang airnya setinggi lutut. Perjalanan naik turun bukit berlanjut sampai tiba di Barak Komando, berjarak 10 Kilometer lebih dari Mbang, Ibukota Kecamatan Geureudong Pase.
“Barak ini ditempati pekerja perkebunan sawit PT Satya Agung. Mereka dikontrak per tiga tahun,” kata Rizal ketika kami singgah di Barak Komando itu.
Disebut “Barak Komando” lantaran lokasi itu merupakan barak pertama ketika dibuka perkebunan sawit PT Satya Agung milik konglomerat asal Aceh (alm) Ibrahim Risyad.
Di belakang barak berkonstruksi kayu itu tampak sejumlah bangunan permanen. “Bangunan itu ditempati para mandor (pengawas pekerja kebun),” ujar salah seorang penghuni barak.
***
Seusai istirahat sekitar 10 menit di Barak Komando, kami melanjutkan perjalanan naik turun bukit menelusuri jalur beralas tanah hingga menemukan Krueng Suak yang airnya juga setinggi lutut. Kami makan siang nasi bungkus yang tadinya sudah dibeli di Keude Mbang. Sebagian anggota rombongan melepas dahaga dengan meminum air sungai yang tergolong jernih itu.
Krueng Suak inilah batas perkebunan sawit PT Satya Agung. Kalau hujan, air sungai ini mencapai pinggang orang dewasa, bahkan bisa lebih tinggi lagi karena turun air dari bukit-bukit di sekitar ini,” ujar Bustaman.
Setelah menyebrangi Krueng Suak, kami berhadapan dengan medan jalan yang semakin sulit. Pasalnya, harus naik turun barisan bukit yang terjal dengan ketinggian mencapai 70 sampai 150 meter. Kondisi jalan berlumpur lantaran diguyur hujan sehari sebelumnya, diperparah dengan lubang-lubang membentuk alur bekas tapak ban traktor jonder penarik kayu hutan.
Itu sebabnya, naik turun perbukitan memakan waktu hampir setengah jam per bukit. Beberapa sepeda motor jatuh bangun mendaki jalan licin, bahkan terpaksa didorong dengan susah payah. Suasana di jalan itu sepi senyap, sesekali terdengar kicauan burung yang menghibur.
Dari arah berlawanan tiba-tiba muncul seorang pria mengendarai sepeda motor berselemak lumpur. Diduga pria itu salah satu pekerja pemotong kayu. “Jalan dalam hutan ini dibuka sekitar dua tahun lalu,” kata seorang tukang kayu ketika bersua dengan kami di salah satu bukit berikutnya.
Perjalanan kami akhirnya berhasil mencapai Bukit Tualang. Disebut Bukit Tualang lantaran di punggung bukit itu ada pohon tualang yang berukuran besar dan menjulang ke langit. “Kita simpan sepeda motor di sini,” ujar Mardani.
“Apakah aman kita simpan sepeda motor di sini,” Samsul Bahri bertanya.
“Tenang saja, aman. Mana ada maling curanmor dalam rimba, kecuali maling yang kesasar,” timpal Rizal sarat canda.
Seusai berteduh melepas letih di bawah pohon tualang, kami melanjutkan perjalanan jalan kaki naik turun bukit hingga menemukan alur yang airnya hanya di bawah lutut. “Alur ini tidak ada nama, sebuat saja Alue Tualang karena dekat Bukit Tualang,” ujar Ibrahim.
Naik turun bukit lagi, kami kemudian menemukan sebuah alur lainnya. Kami memanfaatkan alur itu untuk mengusir lelah dan dahaga yang terus menyerang.
Tiga belas anggota rombongan kini terbelah dua kelompok. Pasalnya, sebagian “pasukan” sudah tak berdaya lantaran kehabisan tenaga. Irfan M. Nur, misalnya, terpaksa berhenti setiap kali setelah berjalan 50 langkah. Sineas Aceh itu nyaris terkapar di tengah belantara. Beruntung, teman-temannya memompa semangat Irfan untuk tidak menyerah sebelum mencapai tujuan.
“Jak beutroh kalon beudeuh, bek rugoe meuh saket hate (lihat dan pastikan agar tidak kecewa nantinya),” kata Sukarna Putra mengutip salah satu peribahasa Aceh.
Irfan bangkit dan mengayunkan langkah terseok. Walau Irfan ditemani Sukarna Putra dan Khairul Syuhada sempat tertinggal jauh di belakang, semua anggota rombongan yang tercerai berai akhirnya bersatu kembali di bibir Krueng Keureutoe, persis pukul 16.00 WIB.
Air Krueng Keureutoe meliuk-liuk di antara batu-batu raksasa. Kami lantas berjalan di atas kayu yang terbentang hingga seberang sungai itu. “Air Terjun Tujuh Bidadari tidak jauh dari sungai ini, sekitar 100 meter lagi,” ujar Ibrahim.
Ibrahim pernah ke lokasi air terjun itu lebih setahun silam. “Ini yang kedua kali saya kemari. Saat pertama saya ke sini, air terjun itu disebut Air Terjun Tujuh Tingkat, karena ada tujuh tingkat yang pemandangannya cukup indah,” katanya.
“Masa konflik (Aceh) dulu, kabarnya air terjun itu juga disebut Air Terjun Tujuh Tingkat,” ujar Murdani.
Kabarnya, paskakonflik bersenjata, ada tukang babat kayu yang menemukan lokasi air terjun terkurung dalam hutan itu. Ia kemudian menyampaikan temuannya kepada warga Geureudong Pase. Orang-orang di Geureudong Pase lantas menyebut Air Terjun Tujuh Tingkat menjadi Air Terjun Tujuh Bidadari setelah tim touring trail motor dari Lhokseumawe mencapai lokasi itu.
“Kami tidak tau siapa yang kemudian menamakan air terjun ini Air Terjun Tujuh Bidadari,” ujar Lem, seorang tukang kayu yang kami jumpai di kaki bukit tidak jauh dari lokasi air terjun itu.
Bagi Abel, tidak penting siapa yang pertama menamakan Air Terjun Tujuh Bidadari. Terpenting saat ini “sang bidadari” berada di depan mata. Ia t
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar